BANDARLAMPUNG – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta mengutamakan hajat hidup 7.512 petambak di Dipasena. Caranya dengan menugaskan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) beserta kementerian terkait untuk melegalkan status pemutusan hubungan kemitraan inti-plasma serta memastikan PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) mengembalikan sertifikat tanah milik petambak.
’’Juga membayarkan sisa hasil usaha (SHU) petambak sekitar Rp36 miliar dan membantu PT PLN (Persero) menyalurkan listrik ke lokasi pertambakan Bumi Dipasena,” tegas Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim dalam siaran persnya kepada Radar Lampung kemarin.
Menurut dia, belajar dari konflik tanah dan pengelolaan sumber daya alam seperti yang terjadi di Papua, Mesuji, dan Bima, mestinya presiden tidak ragu bertindak. Dikatakan, tidak masuk akal jika presiden membiarkan konflik Dipasena berlarut-larut.
’’Pasalnya, akibat material dan nonmaterial telah dirasakan oleh ribuan keluarga petambak, baik kaum perempuan maupun anak-anak. Hal ini jelas melanggar HAM, sebagaimana hasil investigasi Komnas HAM pada tanggal 2 Juli 2011 (lihat grafis),” ungkap Halim.
Temuan Komnas HAM, imbuh dia, masih dirasakan oleh petambak eks Dipasena hingga saat ini. ’’Untuk mengatasi persoalan di Bumi Dipasena, Presiden SBY juga harus segera menyelesaikan RAPBN. Karena hingga kini, DPR belum mendapatkan usulan pembiayaan secara menyeluruh untuk memulihkan hak-hak petambak, termasuk kaum perempuan dan anak-anak,” ujar Halim.
Menurut dia, petambak eks Dipasena menduduki jalur utama menuju lokasi pertambakan Bumi Dipasena sejak Rabu (28/12) karena dipicu lambannya Presiden SBY dalam menyelesaikan persoalan kisruh eks Dipasena akibat wanprestasi PT AWS.
Sementara itu, aksi warga di sekitar kompleks PT AWS terus digelar. Warga bahkan menjaga akses masuk ke kompleks perusahaan tersebut secara bergantian. Arie Suharso, salah seorang warga, mengatakan, tiga titik akses masuk itu meliputi pintu gerbang, pintu muara Sungai Mesuji, dan pintu muara Sungai Tulangbawang.
’’Tetapi sampai saat ini suasana masih cukup kondusif,” jelas dia kemarin. Hanya, dirinya mengkhawatirkan warga berbenturan dengan orang-orang yang disewa oleh perusahaan.
Diketahui, pertemuan mediasi yang difasilitasi oleh Komnas HAM untuk menyelesaikan konflik petambak dengan PT AWS pada 20 Desember lalu gagal.
PT AWS menunjukkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian kisruh eks Dipasena, dengan dua kali tidak menghadiri pertemuan mediasi yang difasilitasi oleh Komnas HAM.
’’Yakni pada tanggal 5 Agustus dan 20 Desember 2011. Kelambanan Presiden SBY berpotensi meruncingkan konflik yang diawali dengan tidak dijalankannya revitalisasi 16 blok tambak oleh PT AWS,” kata dia.
Dalam pertemuan mediasi tersebut, rencananya akan dibahas mekanisme pemutusan hubungan kemitraan dan penyelesaian hak-kewajiban antara petambak plasma dan PT AWS sebagai inti. ’’Tidak hadirnya pihak inti mengindikasikan adanya penyimpangan yang mereka lakukan. Di antaranya penyaluran dana kredit perbankan oleh perusahaan berbasis di Thailand tersebut dan pembayaran SHU petambak sekitar Rp36 miliar,” pungkasnya. (dna/wdi/c1/fik)
Hasil Investigasi Komnas HAM
· Pasca pemutusan listrik pada tanggal 7 Mei 2011 oleh PT AWS membuat suasana gelap gulita pada malam hari sehingga mengganggu aktivitas warga petambak.
· Kincir-kincir air berhenti beroperasi sehingga ribuan ton udang mati di tambak karena kekurangan oksigen sehingga menimbulkan kerugian besar bagi para petambak.
· Petambak kehilangan mata pencaharian sehingga saat ini sebagian petambak hanya menangkap ikan dengan menyebar jala di kanal untuk memenuhi kebutuhan hidup.
· Aliran listrik di kantor Kecamatan Rawajitu Timur juga diputus sehingga mengganggu proses pelayanan terhadap warga.
· Anak-anak petambak belajar dengan hanya ditemani lilin dan lampu minyak. Sebagian anak-anak dan istri petambak harus berpisah dengan kepala keluarga karena diungsikan ke kampung kerabat di luar areal tambak eks Dipasena.
· Terganggunya proses belajar mengajar sehingga sampai saat ini tercatat siswa yang mutasi keluar areal tambak udang eks Dipasena adalah 608 siswa.
· Kincir-kincir air berhenti beroperasi sehingga ribuan ton udang mati di tambak karena kekurangan oksigen sehingga menimbulkan kerugian besar bagi para petambak.
· Petambak kehilangan mata pencaharian sehingga saat ini sebagian petambak hanya menangkap ikan dengan menyebar jala di kanal untuk memenuhi kebutuhan hidup.
· Aliran listrik di kantor Kecamatan Rawajitu Timur juga diputus sehingga mengganggu proses pelayanan terhadap warga.
· Anak-anak petambak belajar dengan hanya ditemani lilin dan lampu minyak. Sebagian anak-anak dan istri petambak harus berpisah dengan kepala keluarga karena diungsikan ke kampung kerabat di luar areal tambak eks Dipasena.
· Terganggunya proses belajar mengajar sehingga sampai saat ini tercatat siswa yang mutasi keluar areal tambak udang eks Dipasena adalah 608 siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar